Prolog
Rasanya aku baru saja terbangun dari mimpi yang amat panjang.
Kesadaranku perlahan naik ke permukaan. Dan ketika akhirnya aku tersadar sepenuhnya, aku mendapati diriku sedang berjalan di tengah kegelapan.
Gelap yang mutlak—tak setitik cahaya pun tampak. Namun anehnya, aku tidak merasa takut. Barangkali karena ada seseorang yang menggenggam tanganku, menuntunku maju. Atau lebih tepatnya, jari telunjuk manusia.
Jari itu terbungkus oleh telapak tangan kecil yang hangat, kenyal, dan lembut. Jelas sekali itu tangan seorang anak.
Aku tidak memiliki kenalan anak-anak. Dalam ingatanku, akhir-akhir ini pun tak ada pekerjaan yang melibatkanku dengan pemeran anak. Seharusnya memang tidak ada.
Aku menyusuri kembali ingatanku, dan satu kenangan muncul ke permukaan. Kenangan paling baru yang masih kuingat sebelum aku sampai di tempat ini. Aku ingat, aku memanggil orang itu diam-diam (agar tak menarik perhatian siapa pun) ke tangga darurat gedung stasiun televisi.
Aku tiba lebih dulu, jadi aku berdiri menunggu di bordes tangga darurat. Ketika terdengar suara pintu dibuka, aku refleks hendak menoleh, saat itu juga punggungku didorong dengan kuat. Aku kehilangan keseimbangan, tubuhku terhempas keluar. Dalam kepanikan, kedua tanganku terulur, berusaha meraih apa saja, namun yang kudapat hanya kehampaan.
Sambil terjatuh, aku melihat seorang pria. Wajahnya tertutup kacamata hitam dan masker, kepalanya ditudungi topi bisbol. Tubuhnya yang besar dan berwibawa, khas seorang alpha… mirip seperti orang itu.
Ia tidak mengulurkan tangan. Tidak berusaha menghentikanku. Ia hanya berdiri, menatap tanpa emosi, saat tubuhku terbalik dan jatuh ke lantai di bawah.
Benturan keras menyambar kepalaku. Pandanganku seketika gelap. Rasa sakit yang luar biasa—seolah kepalaku terbelah—menjalar dari balik mata hingga ke leher. Di tengah penderitaan itu, kesadaranku pun lenyap.
Itulah pemandangan terakhir yang masih berwarna dalam ingatanku.
Aku tidak tahu sudah berapa lama waktu berlalu. Ketika tersadar, aku sedang berjalan di tengah kegelapan, dituntun oleh tangan seorang anak.
Gelapnya begitu pekat.
Awalnya aku bahkan mengira mataku terpejam. Aku sampai mencoba menyentuh wajahku dengan tangan yang kosong, hanya untuk memastikan.
Mungkin… aku sudah mati.
Tak ada satu pun cahaya. Tak ada bintang. Kegelapan seperti ini belum pernah kulihat. Padahal sejak tadi aku terus melangkah, tetapi aku tak merasakan kakiku menyentuh tanah. Lebih aneh lagi, tak ada rasa sakit sama sekali. Padahal aku jatuh dari ketinggian yang begitu ekstrem. Jika aku masih hidup, mustahil tubuhku tidak hancur.
Jika aku benar-benar mati, maka anak yang menggenggam tanganku ini mungkin malaikat… atau barangkali dewa kematian bagi anak-anak?
Saat kenyataan itu akhirnya benar-benar kusadari, dadaku terasa sesak. Bukan karena takut, melainkan penyesalan.
Seharusnya aku tidak memanggilnya.
Aku tahu aku sedang hamil. Aku memanggil orang itu untuk membicarakannya. Aku sadar, aku pasti akan dianggap merepotkan. Bahkan jika ia marah, memaki, atau menyuruhku diam, itu pun tak masalah.
Aku hanya... tidak mampu mengambil keputusan sendiri. Kupikir, jika aku benar-benar merasakan kebenciannya, mungkin aku bisa memutuskan segalanya dan melangkah pergi. Namun sekarang aku mengerti. Sebenarnya, aku bukan mencari solusi. Aku hanya ingin bertemu dengannya.
Jika aku meninggalkan dunia hiburan, aku tak akan pernah punya kesempatan bertemu lagi. Karena itu, setidaknya sekali, aku ingin berbicara dengannya secara langsung sambil menatap wajahnya.
Aku tak pernah membayangkan bahwa kebenciannya sedalam ini. Sampai-sampai ia tega mendorongku menuju kematian. Jika harus mati untuk mengetahui kebenaran itu, maka Tuhan benar-benar kejam.
Di tengah kegetiran itu, sebuah pemikiran lain tiba-tiba muncul.
“—Hei.” Aku memanggil anak yang berjalan di depanku.
“Kenapa aku sendirian? Tidak ada bayi lain? Selain aku, maksudku. Mungkin… yang lain yang masih berbentuk telur.”
Bayangan hasil USG dari rumah sakit kebidanan terlintas di benakku. Meski belum berbentuk manusia, aku tahu pasti ada kehidupan lain di dalam perutku.
Ke mana perginya anak itu?
Jika ia mempertahankan bentuknya saat mati, pasti terlalu kecil hingga aku tak menyadarinya.
Tepat di bawah lantai tempat aku terjatuh, ada satu jiwa kecil yang tertinggal sendirian.
Aku membayangkan arwah mungil, sekecil itu, menangis kebingungan seperti anak tersesat, mencari-cari diriku. Namun tangan kecil yang menggenggam tanganku tidak melemah sedikit pun. Genggamannya menguat tanpa ragu.
“Ayo,” katanya.
“Aku ada di sini, jadi jangan khawatir. Sebentar lagi memang harus berpisah, tapi nanti kita akan kembali ke sana, tempat Mama.”
Makna kata-kata itu tetap tak mampu kupahami sepenuhnya.
Aku hendak bertanya, ‘Mama itu… maksudnya aku?’
Namun pertanyaanku terhenti oleh kata “ke sana".
Tarikan tangan kecil di depanku melemah, lalu berhenti. Kakiku pun ikut terhenti.
Di tengah kegelapan, untuk pertama kalinya aku melihat warna selain hitam. Seolah cahaya matahari dikumpulkan oleh kaca pembesar, satu titik di kejauhan memancarkan cahaya bundar yang samar.
“Mama harus pergi sendiri.”
“Eh? Pintu itu... Menuju ke sana? Kalau Mama pergi, bayiku juga ikut, kan—”
“Tidak ada waktu. Mama harus kembali lebih dulu.”
Mama harus kembali lebih dulu, apakah itu berarti ia akan menjemput bayiku?
Aku sempat merasa jari kecil itu menggenggam lebih erat, namun hanya sesaat. Tak lama kemudian, genggaman itu terlepas.
“Tidak apa-apa. Kalau Mama hidup dengan cara Mama, kita pasti akan bertemu lagi.”
Kata-kata itu ditinggalkan begitu saja, menyisakan rasa hangat terakhir di dadaku. Suara anak itu pun menghilang, begitu pula kehadirannya. Padahal tadi jelas-jelas itu tangan seorang anak. Namun saat genggaman itu lenyap, jantungku tiba-tiba terasa kosong.
Berjalan sendirian di tengah kegelapan yang pekat terasa menakutkan.
Seandainya bisa, aku ingin menunggu anak yang tadi membimbingku—bersama bayiku—lalu melangkah pergi bersama. Namun kata-kata yang ditinggalkannya terus terngiang di benakku.
“Tidak ada waktu, jadi Mama harus kembali lebih dulu.”
Ia memang mengatakannya dengan tegas.
Di dalam diriku, muncul perasaan seolah ada sesuatu yang mendesak. Aku tak tahu alasannya, tapi naluriku mengatakan aku harus segera pergi ke sana.
Aku yakin, sekalipun aku menunggu di sini, aku tak akan bisa bertemu anak itu lagi. Maka aku kembali menatap ke depan.
“Tidak apa-apa. Kalau Mama hidup dengan cara Mama, kita pasti akan bertemu lagi.”
Didorong oleh kata-kata yang tak sepenuhnya kupahami, aku melangkah menuju cahaya.
.......................................

