Novel Reader

 Bab 1

Senang Berjumpa Lagi untuk Kedua Kalinya


Pohon-pohon di tepi jalan berkilauan oleh lampu dan lagu-lagu Natal terdengar samar di mana-mana, hari itu adalah awal Desember di kota Shibuya.

Di dalam gedung Towa TV, salah satu stasiun televisi swasta, suasananya jauh lebih sibuk dari biasanya. Meski riuh dan terburu-buru, ada semacam kegelisahan yang menggantung di udara.

Di tengah hiruk-pikuk itu, aku berdiri terpaku di ujung lorong tempat orang-orang lalu-lalang tanpa henti.

Bagi orang yang bekerja di dunia televisi, Desember adalah masa panen. Program spesial akhir tahun dipersiapkan di setiap stasiun, dan bahkan talenta atau artis yang belum terlalu dikenal pun sering kebagian panggilan.

Aku, Kakitani Natsuki, juga termasuk salah satunya.

Tahun keduaku sebagai aktor berjalan cukup baik. Aku berhasil memenangkan beberapa audisi dan mendapatkan peran penting dalam sebuah drama. Berkat itu, aku menerima tawaran tampil dalam acara kompilasi adegan siaran—yang dikenal sebagai NG Taishō.

Hari ini, rekaman untuk acara itu akan dilakukan.

Penghargaan NG bukanlah sesuatu yang benar-benar membanggakan bagi seorang artis. Namun, diundang ke acara spesial akhir tahun saja sudah cukup untuk disebut sebagai lompatan besar. Apalagi dibandingkan tahun lalu, ketika aku hampir tak mendapat dialog sama sekali.

Meski, alasan wajahku sekarang tampak seperti dunia akan berakhir bukanlah karena rekaman yang menunggu setelah ini. Melainkan karena ada tugas penting lain yang harus kuselesaikan.

“Natsuki, kalau tidak segera berangkat, waktu untuk riasan rambut dan make-up akan habis.”

Manajerku, Shiraki Seiya, yang berdiri di sampingku, akhirnya angkat bicara. Ia sengaja merendahkan suaranya, mungkin karena sejak tadi aku berdiri mematung di lorong selama hampir lima menit tanpa bergerak sedikit pun.

Shiraki-san adalah pria berwajah lembut yang mengenakan kacamata berbingkai tipis. Kesan pertama tentangnya selalu ramah dan menenangkan. Usianya tujuh tahun lebih tua dariku—dua puluh tujuh tahun. Ia tipe orang yang selalu menuntaskan tanggung jawabnya, sehingga jarang sekali ia menegur orang lain dengan nada keras.

Karena itulah, jika sampai Shiraki-san terlihat agak tergesa, berarti waktu kami benar-benar tidak banyak untuk memulai siaran.

Kalau bisa, aku pun ingin segera menyelesaikan hal yang tidak kusukai agar bisa bernapas lebih lega. Namun entah mengapa, tubuhku terasa kaku, seolah terpaku oleh sesuatu yang tak terlihat.

“Kalau segugup itu, tidak perlu memaksakan diri untuk menyapa,” lanjut Shiraki-san. “Waktu rapat bulan depan, kamu bisa minta maaf dengan bilang, ‘Maaf, bulan lalu saya tidak sempat menyapa.’ Itu tidak akan dianggap tidak sopan.”

Aku memang menyemangati diri sendiri sampai sejauh ini, tetapi kata-kata Shiraki-san mulai menggoyahkan tekadku.

Memberi salam pada lawan main dan staf adalah salah satu hal yang kutetapkan sendiri sebagai kewajiban dalam kehidupanku sebagai aktor untuk kedua kalinya. Namun acara NG Taishō hari ini berbeda. Setiap program hanya menampilkan para pemainnya sendiri yang mengomentari adegan mereka. Tidak ada keterlibatan dengan pemeran dari program lain.

Pada dasarnya, salam di ruang tunggu hanya perlu dilakukan kepada para pemeran dan pembawa acara dari program yang sama.
Dan ruang tunggu mereka kebetulan dekat dengan ruang tungguku, jadi aku sudah menyapa mereka sebelum datang ke sini.

Alasan aku berada disini sebenarnya lebih bersifat pribadi.

Saat melihat daftar pengisi acara NG Taishō, aku menemukan nama seseorang yang akan menjadi lawan mainku dalam drama berikutnya. Kupikir, sekalian saja aku menyapa lebih dulu.

Sebenarnya, dia adalah orang yang sebisa mungkin ingin kuhindari. Karena itu, aku ingin bertemu lebih awal, agar rasa canggung dan ketidaknyamanan itu bisa terkikis. Kalau tidak, aku khawatir aku tidak akan bisa benar-benar mendalami peran, bahkan untuk membaca naskah. Namun begitu aku melihat nama itu terpampang di pintu ruang tunggu, kakiku terasa lemas dan tak mampu melangkah maju.

Tenggorokanku terasa tercekat, kepalaku perlahan terasa berat. Padahal saat pengambilan gambar ulang yang tidak boleh gagal atau saat siaran langsung aku belum pernah segugup ini.

Dengan kondisi seperti ini, rasanya mustahil aku bisa memberi salam dengan layak. Mungkin hari ini sebaiknya aku mengurungkan niat.

Saat itulah pintu di hadapanku terbuka.

Aroma manis yang memabukkan menyentuh hidungku, membuatku refleks menahan napas.

Bukan aroma parfum mahal, melainkan aroma lembut khas omega. Dan di baliknya, samar-samar terselip aroma yang begitu familiar. Aroma yang dulu terasa hangat namun kini justru menusuk dada, berubah menjadi rasa nyeri yang tajam.

Sosok yang berdiri anggun di hadapanku itu bukan lah pemilik ruang tunggu ini.

Dia seorang wanita. Dan bukan sembarang wanita, ia adalah wanita tercantik yang pernah kulihat sejauh ini.

Ini memang pertama kalinya aku bertemu langsung dengannya, tetapi tak ada seorang pun yang tidak mengenalnya. Ia adalah aktris papan atas yang sangat populer, Nakajima Yumi.

Dalam paruh pertama tahun ini, ia menduduki peringkat pertama sebagai talenta perempuan dengan jumlah penampilan iklan terbanyak. Bahkan dijuluki Ratu Iklan. Ia juga akan memerankan tokoh utama perempuan dalam film “Menatap Langit”, proyek berikutnya yang juga akan kuikuti.

“Ah.”

Rambut hitamnya yang berkilau ditata sederhana dan diselipkan ke belakang telinga, menyingkap garis wajah kecil yang nyaris bisa kugenggam dengan satu tangan. Hidungnya mancung dengan kesan anggun, bibirnya berwarna merah muda lembut. Bulu matanya panjang dan lentik, membingkai sepasang mata besar dengan kelopak ganda yang tegas. Pupilnya memantulkan cahaya lampu—terlihat hitam, namun sekilas juga seperti abu-abu kebiruan.

Warna mata yang kompleks itu, dipadu dengan kulit putihnya yang nyaris tembus pandang, membuatnya tampak jauh dari kesan orang Jepang kebanyakan. Aku teringat pernah membaca di profil agensinya bahwa ayahnya berkebangsaan Inggris.

Saat kulihat di televisi, rambutnya biasanya lebih cerah dan bergelombang lembut. Namun kini, demi peran yang sedang dijalaninya, rambut itu dibiarkan lurus, hitam pekat, dan dipotong sebatas bahu. Ada satu hal lagi yang berbeda dari penampilannya di layar kaca. Di lehernya terpasang choker hitam khas omega. Bersama gaun hitam ketat yang dikenakannya, aksesori itu semakin menegaskan kulitnya yang cerah dan garis tubuhnya yang indah.

Tingginya tidak terlalu menjulang. Bahkan dengan sepatu hak tinggi, garis pandang kami masih sedikit berbeda—sedikit lebih rendah dariku yang tingginya 170cm.

“Kalau tidak salah… kamu yang akan bermain bersamaku di syuting berikutnya…”

Kalimat itu terputus.

Shiraki-san menyikut pelan sisi perutku. Aku tersentak, buru-buru merogoh saku dalam jas, dan mengeluarkan kartu nama. Dengan gerakan kikuk, aku menyerahkannya seolah-olah didorong dari belakang.

“Saya Kakitani Natsuki dari Tsukishiro Production. Mulai bulan depan, saya akan bermain bersama Anda di film Menatap Langit. Mohon kerja samanya.”

Aku sendiri tidak benar-benar menyadari apa yang sedang terjadi. Rasa tidak nyata menyelubungi pikiranku, membuat pandanganku kosong menatap punggung Shiraki-san yang sedang menyerahkan kartu namaku.

Sebenarnya, kenapa dia ada di sini?

Namanya tidak tercantum dalam daftar pengisi acara NG Taishō. Mungkin ia sedang melakukan pengambilan gambar di studio lain milik Towa TV, lalu mampir di sela waktu luang.

Lagipula, perempuan ini dan pemilik ruang tunggu ini sudah lama digosipkan sebagai sepasang kekasih.

Setelah menerima kartu namaku, dia meminta maaf karena tidak membawa kartu nama untuk ditukar. Lalu menatapku dengan senyum yang anggun.

“Kamu datang untuk memberi salam ke Haru, kan? Maaf ya, aku jadi mengganggu.” katanya lembut.

Nama itu baru benar-benar kudengar lagi setelah dua tahun. Menarikku kembali ke dunia nyata, seakan aku tadi hanya menonton televisi dari kejauhan.

Haru-san...

…Benar.

Aku datang ke sini untuk menyapa orang itu.

Saat kesadaran itu muncul, tiba-tiba bayangan seseorang jatuh di belakangnya. Dari balik pintu yang dibiarkan terbuka, muncul seorang pria yang lebih tinggi sekitar dua kepala darinya.

Keramaian di sekeliling seakan menjauh, dan waktu terasa berhenti.

Mima Haruhito.

Dia juga rekan mainku di proyek berikutnya. Dan dialah pemilik ruang tunggu ini.

Dengan tinggi hampir 190cm, tubuhnya yang dibalut otot ramping memancarkan kehadiran yang menekan, bahkan hanya dengan berdiri diam. Hidungnya yang lurus tegas memberi kesan maskulin, dan bibir tipisnya tampak seolah selalu siap mengucapkan kata-kata dingin. Matanya yang tajam sedikit menyipit, dan tatapan itu jauh lebih menusuk dibandingkan saat kulihat di layar televisi.

Aku dan dia—aktor papan atas yang usianya enam tahun lebih tua dariku—dalam kehidupan kali ini, baru hari inilah saling menatap wajah. Semua yang terjadi dulu seharusnya sudah ter-reset. Seolah di dunia ini, hal-hal itu tak pernah ada.

Aku terus mengulanginya dalam hati, namun reaksi tubuhku yang berlebihan justru mematahkan keyakinan itu. Padahal sudah lebih dari dua tahun berlalu. Namun sebagian diriku rupanya masih tertinggal di tangga darurat itu, tak pernah benar-benar bergerak maju.

Darah seakan mengalir turun dari wajahku. Kepalaku terasa ringan, hampir limbung. Aku menempelkan telapak tangan ke dinding lorong untuk menopang tubuh.

Dalam pandangan yang bergetar, kulihat Shiraki-san yang berdiri sedikit lebih rendah. Saat kusadari tatapan Mima mengarah padaku, aku tersentak dan buru-buru memalingkan wajah. Dalam sudut pandang yang menyempit, kulihat jari-jari putih wanita itu mencengkeram lengan jas pria dengan erat.

“Haru, dia Kakitani, pemeran yang akan jadi lawan main berikutnya datang untuk menyapa.”

Nada suaranya begitu normal, hal itu justru itu yang membuat hatiku makin kacau.

Di sela aroma parfum mahal, terselip wangi manis yang samar. Lalu, seperti menyelubunginya, ada aroma alpha yang lembut dan halus. Selain diriku, mungkin hanya orang dengan indra penciuman yang sangat peka yang akan menyadarinya. Namun bagiku, aroma itu begitu kuat hingga membuat napasku terasa sesak.

Aku harus segera pergi dari sini. Naluriku berteriak demikian.

“A-ah… anu… senang bertemu dengan kalian berdua. Saya Kakitani Natsuki. Untuk film Menatap Langit, mohon kerja samanya. Hari ini saya harus pamit dulu, karena masih ada persiapan rekaman.”

Sambil menundukkan kepala, aku membungkuk hampir sembilan puluh derajat. Setelah itu, tanpa berani menatap wajah mereka, aku berbalik dan bergegas meninggalkan tempat itu.


✧✦✧✦


“Kulit Natsuki-kun benar-benar bagus. Seperti bayi. Kalau saja tidak ada lingkar hitam di bawah mata, hari ini kau bisa tampil tanpa alas bedak. Meski syuting dramanya sudah selesai, sepertinya masih sangat sibuk.”

Di tengah sesi rias wajah, aku tersentak oleh suara yang mengajakku berbincang, lalu perlahan membuka mata. Di cermin, pandanganku bertemu dengan Mika-san, penata rias yang sedang meratakan alas bedak di wajahku.

Sebagai penata rias khusus stasiun ini, ciri khasnya adalah rambut hitam yang ditata rapi dan dikuncir tinggi di atas kepala—gaya odango1. yang selalu menjadi tanda pengenalnya.

Lensa kontak berwarna, bulu mata lentik, serta sapuan perona pipi yang cukup tebal membuat wajahnya tampak cerah dan sulit ditebak usianya.
Namun menurut cerita para staf, ia sudah bekerja di stasiun ini lebih dari sepuluh tahun.

Sambil mengobrol ringan, tangannya terus bergerak cekatan—cepat, teliti, dan penuh ketelitian. Tak heran jika ia sangat dipercaya oleh para pengisi acara. Selama syuting drama pun, aku selalu berada di bawah perawatannya.

“Ah… ya, berkat bantuan semua orang juga…”

Aku tidak benar-benar menjelaskan alasannya. Sebagai gantinya, aku hanya menampilkan senyum samar di cermin.

Lingkar hitam di bawah mataku bukan disebabkan oleh padatnya jadwal kerja. Setiap kali terpikir harus pergi memberi salam pada Mima, kegelisahan dan ketegangan membuatku sulit terlelap.

Namun, di sinilah keahlian penata rias ternama itu benar-benar terasa.
Wajah pucat yang menampakkan kelelahan perlahan tersamarkan, digantikan rona kulit yang cerah dan tampak sehat berkat sentuhan alas bedak.

“Kalau begitu, tinggal merapikan alis sedikit saja. Aktor seperti Natsuki-kun sudah punya struktur wajah yang sempurna, pekerjaanku jadi ringan,” ujar Mika-san ceria.

“Padahal kamu beta. Tuhan memang benar-benar tidak adil. Kalau mau membeda-bedakan berdasarkan gender, setidaknya dalam satu jenis kelamin pun spesifikasinya dibuat setara.”

Candaan itu membuat jantungku berdebar kecil, tetapi sebagai seorang aktor, aku menjaga ekspresi. Wajah di cermin tetap datar, alisku tak bergerak sedikit pun—poker face yang sempurna.

Mika-san tentu tidak benar-benar bermaksud menyindir. Itu hanyalah bentuk pelayanan profesional ala dirinya. Kepiawaian dalam melontarkan pujian juga menjadi salah satu alasan ia begitu digemari.

“Kalau dipikir-pikir, meski aku beta, refleks olahragaku buruk, dan meskipun latihan otot, badanku tetap saja tidak mudah berisi. Aku jadi tidak punya daya jual yang jelas. Untuk sementara, peran yang lolos audisi pun kebanyakan karakter yang mirip-mirip.”

Kata-kata itu meluncur begitu saja dari bibirku, setengah bercanda, setengah jujur. Kata beta aku tekankan sambil setengah mengeluh. Mika-san pun menurunkan alisnya, lalu menampilkan senyum kecil yang tampak agak kikuk.

“Di industri ini, orang yang terlalu ‘rapi’ justru mudah terkubur,” katanya pelan.

Karena aku direkrut langsung oleh staf produksi hiburan, barangkali secara umum wajahku memang termasuk kategori yang “rapi”.

Kelopak mata gandaku yang tegas dan mata dengan sudut tajam mudah menarik perhatian. Batang hidung yang lurus serta bibir tipis sering kali membuat staf perempuan menggoda atau memujiku setengah bercanda.

Namun dunia hiburan dipenuhi orang-orang dengan kelas sepertiku, bahkan bisa dibilang, jumlahnya berlimpah sampai tak terhitung. Aku tidak memiliki keunggulan mencolok yang membuatku bisa bertahan hanya dengan penampilan.

Sejak memutuskan untuk hidup sebagai beta, aku mencoba menantang diri mengambil peran-peran aktif yang sebelumnya kutinggalkan karena tak sesuai citra. Aku pun mulai berlatih otot dan rutin berlari. Meski sejauh ini belum ada perubahan yang benar-benar tampak.

Sambil berbincang, alisku perlahan dirapikan. Wajah yang tanpa riasan cenderung terlihat netral, kini berubah menjadi lebih tegas—cukup maskulin.

Terdengar bunyi ketukan.

Di cermin, terlihat pintu ruang rias terbuka. Orang yang masuk adalah manajerku, Shiraki-san.

“Aku sudah bilang ke mereka berdua, nanti kamu akan menyapa kembali saat pertemuan bulan depan,” ujarnya.

“Mima-san sempat bilang, ‘Kenapa dia memilih ini?’ Jadi, kalau kalian bertemu lagi bulan depan, jelaskan sendiri dengan baik,”

“Eh… ah, iya…”

Mungkin karena jawabanku terdengar samar, Shiraki-san sempat menampilkan raut heran sesaat. Namun setelah itu, ia tidak melanjutkan pembicaraan.

Padahal, justru akulah yang ingin bertanya.

Kenapa dia memilih ini?

Bukankah aku memilih film ini justru untuk menghindari kemungkinan kembali beradu peran dengannya?

“Mereka berdua… jangan-jangan Yumi-chan tadi datang ke tempat Mima?”

Berdiri di belakangku, Mika-san menata rambutku yang warnanya cenderung pucat dengan wax, membentuknya dengan mudah. Matanya berkilat penuh rasa ingin tahu.

Hubungan antara Mima Haruhito dan Nakajima Yumi sudah berkali-kali menjadi bahan liputan majalah mingguan. Begitu mendengar kata “Mereka berdua”, sepertinya Mika-san langsung paham siapa yang dimaksud.

Meski begitu, karena kedua belah pihak tidak pernah secara terbuka membenarkan maupun membantah gosip tersebut, kebenarannya tetap tidak diketahui.

“Sampai sengaja memanggilnya ke ruang tunggu untuk ‘menandai wilayah’. Mima-kun kelihatannya dingin, tapi ternyata punya hasrat posesif yang cukup kuat.” Nada suaranya ringan, seperti gurauan. Tapi kata-kata itu justru menancap di kepalaku, menyisakan rasa tidak nyaman yang samar, tapi sulit diabaikan.

“Menandai wilayah… maksudnya?”

Seharusnya aku tidak perlu bertanya. Tapi kata yang asing di telingaku itu terlanjur keluar begitu saja.

Mika-san menanggapi dengan senyum kecil penuh sarat makna. “Sebanyak apa pun Yumi-chan memakai choker, alpha yang mengincarnya pasti tidak terhitung jumlahnya, kan? Jadi dia menempelkan aromanya sendiri, supaya alpha lain tak punya celah untuk mendekat.”

Jadi… begitu maksudnya.

Aroma feromon Mima yang samar tercium darinya, ternyata itulah jawabannya.

Dadaku kembali terasa nyeri, seperti ditusuk jarum halus. Dan entah mengapa, aku ingin memaki diriku sendiri. Kenapa aku sampai merasa terluka hanya karena memikirkan orang itu?

“Ah~kalau saja aku ini omega, aku sudah pasang heat trap dan menjadikan Mima-kun milikku sendiri!” Mika-san mengeluh sambil menghentakkan kaki seperti anak kecil yang kesal.

Tanpa sadar, aku terkekeh pelan.

“Eh—sebentar, Natsuki-kun! Tadi kamu tertawa lewat hidung, kan?
Karena aku cuma beta, jadi kamu merasa menang, ya?!” Nada suaranya pura-pura tersinggung.

Aku buru-buru menahan ekspresi. Namun senyum kecil yang tersisa di sudut bibirku tak sepenuhnya bisa kusembunyikan.

Mika-san tampak siap mengacak-acak rambutku yang sudah ia tata hingga mengembang.

“B-bukan begitu!” Aku buru-buru menyangkal. “Hanya saja Mika-san yang sedang jatuh cinta itu terlihat manis, jadi aku tanpa sadar tersenyum.”

“Oh, ya?” Dia mendengus kecil. “Kalau begitu, untuk keperluan SNS acara ini, aku izinkan foto two-shot antara Mima-kun dan Natsuki-kun.” Dia mengedipkan mata ke arah cermin.

Pipiku refleks menegang. “Kenapa… kenapa harus foto berdua dengan Mima-san…?”

“Bukannya sudah diputuskan demi menjaga rating dan promosi stasiun?”

Maksudnya, di sela-sela rekaman nanti staf akan mengambilkan foto, begitukah? Bukankah itu permintaan yang keterlaluan sebagai ‘imbalan’?
Aku mati-matian memutar otak, mencari alasan yang sopan untuk menolak, ketika terdengar ketukan di pintu, disusul bunyi daun pintu yang terbuka.

“Kakitani-san, mohon bersiap. Waktu siaran sebentar lagi.”

Seorang asisten sutradara menengok masuk, sekedar memperlihatkan wajahnya.

Shiraki-san segera menjawab dengan sigap, “Baik, kami segera ke sana.”
Tatapan penuh harap dari sang asisten sempat dilemparkan ke arahku sebelum menghilang kembali ke lorong.

Alasan tadi aku tanpa sadar menertawakan ucapan Mika-san bukan karena menganggapnya konyol. Itu adalah tawa pahit.

Aku tahu betul, jika hal itu benar-benar terjadi di dunia nyata, ceritanya pasti akan berbeda.Bahkan sebagai omega, aku tetap tak akan mampu menjadikan Mima milikku dengan jebakan heat. Aku memahami itu dari pengalaman dan kenyataan yang pernah kulalui sendiri.

Mungkin, selama dua tahun terakhir ini, aku sesungguhnya sedang menapaki kembali hari-hari yang telah kulalui sekali.

Aku pernah terjatuh dari tangga darurat stasiun televisi dan berpikir bahwa di sanalah aku mati. Namun ketika membuka mata, waktu justru telah berputar mundur kembali ke dua tahun sebelumnya.

Ayahku menghilang meninggalkan utang saat aku masih duduk di bangku sekolah dasar. Ibuku, seorang penata rambut yang berstatus omega dan sejak awal bertubuh lemah, memaksakan diri bekerja demi melunasi utang itu. Namun ketika aku kelas tiga SMA, ia jatuh sakit dan meninggal dunia.

Paman—kakak kandung ibuku—memang ditunjuk sebagai waliku. Namun dengan alasan jarak tempuh sekolah, aku diminta tetap tinggal sendiri di apartemen kecil tempat aku dulu hidup bersama ibu. Ia juga menentang keras jika aku harus masuk ke panti asuhan, karena khawatir dengan pandangan masyarakat.

Meski begitu, itu tidak berarti aku mendapatkan bantuan finansial yang layak. Paman itu memiliki seorang putra dan seorang putri yang masih kuliah. Kemungkinan besar, ia tidak mengajakku tinggal bersama karena aku seorang omega.

Di dunia ini, selain jenis kelamin laki-laki dan perempuan, terdapat jenis kelamin kedua: alpha, beta, dan omega.

Kaum alpha, sejak lahir, cenderung unggul secara fisik maupun kemampuan. Kaum Beta mencakup sebagian besar populasi.

Sementara Omega umumnya memiliki kemampuan yang berada di bawah rata-rata. Di sisi lain, mereka memiliki kondisi tubuh khusus yang memungkinkan kehamilan bahkan pada tubuh laki-laki.

Sebulan sekali datang masa Heat. Pada periode itu, omega mengeluarkan aroma manis yang disebut feromon—bau yang mampu menggoda alpha maupun beta tanpa memandang jenis kelamin. Karena karakteristik inilah, omega kerap diperlakukan sebagai pihak yang berisiko secara sosial.

Asuransi jiwa ibu lebih banyak berupa asuransi kesehatan, dengan nilai santunan kematian yang sangat kecil. Setelah biaya perawatan medis dan pemakaman dibayarkan, nyaris tak ada yang tersisa di tanganku.

Bersamaan dengan masuk SMA, aku mulai bekerja paruh waktu di sebuah minimarket. Tabungan yang ku kumpulkan sedianya dipersiapkan untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi, namun pada akhirnya uang itu hanya cukup untuk membayar biaya sekolah dan kebutuhan hidup.

Jam kerja bagi pelajar dibatasi, paling lama hingga pukul sepuluh malam,
dan pada akhir pekan pun hanya diperbolehkan bekerja maksimal delapan jam. Belum lagi, setiap tiga bulan sekali aku membutuhkan waktu istirahat sekitar satu minggu penuh karena masa heat.

Tabungan yang terus menipis, aku menyerah pada impian masuk universitas lebih awal dari rencana. Upaya mencari pekerjaan setelahnya pun tidak berjalan mulus. Pandangan masyarakat terhadap omega lulusan SMA sangat keras.

Baru ketika memasuki dunia pencari kerja, aku benar-benar dihantam kenyataan itu. Kolom jenis kelamin kedua di riwayat hidup memang bersifat opsional, namun dalam wawancara, pertanyaan itu selalu diajukan dengan alasan penempatan dan sistem kerja.

Aku sudah mulai melamar pekerjaan sejak musim panas. Bahkan pada gelombang penerimaan kedua di musim gugur aku tetap menerima penolakan, aku kemudian berpikir bahwa memiliki keterampilan khusus seperti ibuku mungkin akan membuka jalan.

Saat itulah aku memutuskan untuk bercita-cita menjadi penata rambut.
Namun, meski berencana bersekolah di akademi kecantikan pada malam hari sambil bekerja, tetap diperlukan biaya pendaftaran yang tidak sedikit.
Meminjam uang pada paman jelas ditolak. Menambah jam kerja paruh waktu pun tidak serta-merta menghasilkan penghasilan yang mencukupi.

Dalam kebuntuan itu, aku sempat tergoda mencoba sesuatu yang disebut orang sebagai “papakatsu2.. Sejak sebelumnya pun, aku kerap disapa orang-orang asing, baik laki-laki maupun perempuan.

Karena itu, begitu mendaftar, tak lama kemudian beberapa ajakan langsung berdatangan. Di antara semuanya, aku memilih orang yang mengirim pesan, “Bagaimana kalau kita mulai dari makan malam saja?” seseorang yang tampak relatif aman dan sempat berniat menemuinya. Namun tepat pada masa itu, tepatnya sepulang sekolah, aku justru mendapat tawaran dari staf administrasi Tsukishiro Production, agensi tempatku kini bernaung.

Aku direkrut secara langsung. Katanya, jika bergabung dengan agensi, pekerjaan sebagai model selebaran bisa segera diberikan. Honor akan dibayarkan harian. Upahnya jauh lebih baik dibandingkan gaji paruh waktu di minimarket, dan yang terpenting, terasa jauh lebih aman dibandingkan papakatsu.

Pada akhirnya, aku membatalkan pertemuan dengan orang dari aplikasi itu.

Keesokan harinya, aku mendatangi kantor agensi untuk mendengarkan penjelasan lebih lanjut, lalu menandatangani kontrak sementara sebagai trainee. Setelah itu, sebuah pekerjaan di video musik menjadi titik awal yang membuatku tertarik pada dunia akting.

Aku pun mengurungkan niat masuk sekolah kecantikan, dan setelah lulus SMA, memutuskan untuk mengejar cita-cita sebagai aktor.

Sejak awal, sebenarnya aku cenderung menarik diri dari pergaulan.
Terlebih setelah hasil pemeriksaan di SMP menunjukkan bahwa aku adalah seorang omega. Sejak saat itu, aku diliputi ketakutan akan ketahuan, hingga tanpa sadar semakin menghindari interaksi dengan orang lain.

Aku sempat ragu, apakah aku sanggup menjalani pekerjaan yang menuntutku tampil di depan publik. Namun ibuku sering sakit, membuatku tidak memiliki banyak teman. Sehingga sejak kecil aku terbiasa menghabiskan waktu membaca buku di sekolah maupun di rumah.

Aku menyukai tenggelam dalam dunia cerita, membayangkan latar belakang yang tak tertulis, serta menelusuri perasaan dan pemikiran tokoh-tokoh di dalamnya. Pekerjaan sebagai aktor yang dimana memerankan sosok dengan membayangkan kehidupan yang dijalaninya dan cara berpikirnya, perlahan terasa memikat bagiku.

Fakta bahwa Tsukishiro, staf administrasi yang merekrutku, menyempatkan menyapaku secara khusus di sela-sela latihan di agensi, dan bahwa aku benar-benar diperhatikan, menjadi dorongan kecil yang terus menguatkanku.

Meski berada di posisi yang jauh lebih tinggi, ia kerap turun langsung ke lokasi. Wajahnya pun dianugerahi rupa yang begitu baik hingga model maupun aktor akan mudah melekat padanya.

Sekilas jelas ia seorang alpha, namun berbeda dari alpha kebanyakan, ia tidak memancarkan tekanan atau rasa mengintimidasi. Tatapan matanya yang sedikit menurun justru memberi kesan lembut, dan cara bicaranya pun selalu halus kepada siapa saja.

Setiap kali sosok yang seolah berada di atas awan itu menyapaku, aku selalu gugup berlebihan. Aku tak mampu menanggapi dengan wajar, apalagi berbicara dengan tenang.

“Saat tampil di media, cukup perankan dirimu sebagai talenta bernama Kakitani Natsuki.”

Staf administrasi mengatakan itu barangkali karena kemampuan komunikasiku terlalu buruk.

Saat wajahku serius, aku tampak seperti orang yang menjaga jarak dan meremehkan lawan bicara. Karena itu, aku disarankan untuk selalu mempertahankan senyum di depan kamera, serta menampilkan kesan akrab dengan rekan main.

Sejak pekerjaan varietas mulai bertambah, aku bahkan diberi rujukan untuk membangun karakter. Belakangan ini, aku diperkenalkan pada kanal distribusi video milik senior yang sudah jarang tampil di televisi.
Isinya seputar cara menarik perhatian orang lain dan teknik percintaan—semacam panduan membangun persona.

Hasilnya, perlahan namaku mulai dikenal. Aku tak hanya dipanggil sebagai model majalah, tetapi juga mulai dilibatkan dalam acara varietas.
Pekerjaan akting pun bertambah secara bertahap. Di mata publik, aku kemudian dijuluki “si anak nakal kecil yang manis dan polos.”

Dan pada tahun keduaku sebagai aktor, aku akhirnya dipercaya menjadi pemeran utama drama untuk pertama kalinya.

Ironisnya, aku justru lelah membangun persona.

Bertolak belakang dengan diriku di depan kamera, dalam keseharian aku hampir tidak pernah menyapa orang lain lebih dulu.

Di luar, aku tersenyum demi pemirsa. Di dalam, aku menarik diri ke dalam cangkangku sendiri.

Seiring berjalannya waktu dan merosotnya rating drama, ruang gerakku kian menyempit, dan dua sisi diriku itu semakin bertabrakan dengan kejam.

Akibatnya, penilaian para lawan main dan staf terhadapku pun memburuk. Orang yang memberitahuku soal itu adalah dia—Mima Haruhito.

“Baik, kita masuk siaran! Lima detik! Empat! Tiga! ……”

Hitungan mundur dari Asisten Sutradara dimulai.

Aku merasa seperti sedang ditatap, dan refleks menoleh ke arah sana. Di lokasi yang agak jauh dari panggung berdiri para pengisi acara dari program lain.

Di antara mereka, ada Mima.

Dia seharusnya tidak sedang melihat ke arahku, jadi mungkin perasaan diawasi itu hanya perasaanku saja. Namun Mima, bahkan ketika kamera tidak mengarah kepadanya, tetap berdiri dengan punggung tegap tanpa mengubah postur.

Konon, ia selalu menyadari sikap tubuhnya agar saat tampil dalam drama sejarah, siluet berdirinya tampak indah.

Aku pernah mendengar cerita itu di kehidupanku yang pertama. Ingatan tentang dua tahun yang seharusnya telah hilang kembali menyeret pikiranku.

Aku pun dengan perlahan mengalihkan pandangan kembali ke monitor.

Seseorang yang mungkin telah membunuhku, aku tidak ingin bertemu dengannya lagi untuk kedua kalinya.

Perasaan itu nyata, tak terbantahkan.

Namun di saat yang sama, aku juga menyadari adanya perasaan lain. Perasaan yang berbeda, terasa samar namun jelas. Seperti cahaya kecil yang kulihat di tengah kegelapan saat itum bersemayam jauh di dasar dadaku.

...........................
Got an error? Report now
Comments

Comments

Show Comments